Kamis, 06 Januari 2011

SHAUM & KECERDASAN INTEGRATIF

07-01-2011 / 09:19:52
DR.Tauhid Nur Azhar - Ruh seperti ikan hias yang ditaruh di akuarium yang tidak lain adalah tubuh sempurna yang dimiliki manusia


Kalau Anda ingin mengetahui hubungan antara shaum dengan kecerdasan emosi, maka harus dibedah terlebih dahulu anatomi kecerdasan. Dari sana akan diketahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, “Apakah kecerdasan spiritual mirip dengan kecerdasan sosial atau yang lainnya?” atau “Apa hubungan antara kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual?” atau “Bagaimana shaum dapat melejitkan kecerdasan emosi?”

Dalam salah satu firman-Nya, Allah Swt. berfirman,


ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ



“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (Q.S. As-Sajdah [32]:9)

Dalam ayat tersebut di atas, Allah Swt. menyinggung tentang kecerdasan fisik dalam kesempurnaan wujud penciptaan manusia. Salah satu contoh kesempurnaan tersebut adalah bahwa tubuh kita terdiri dari sekumpulan sel (100 triliun lebih) yang dikaruniai kercerdasan berkumpul dan mengorganisasi diri dengan sempurna. Tidak hanya itu, sel-sel kecil yang ukurannya hingga 10-50 mikron tersebut ternyata bisa berkomunikasi dengan baik. Ini menunjukkan bahwa pada manusia terdapat satu sistematika kecerdasan, mulai dari yang bersifat mikro sampai makro.

Di samping dikaruniai kesempurnaan fisik, manusia juga memiliki tiga kecenderungan negatif (yang tidak disukai) dan telah disinyalir oleh Allah Swt. dalam beberapa firman-Nya. Ketiga kecenderungan tersebut adalah pertama, tergesa-gesa dalam mengambil keputusan sehingga secara otomatis membuat manusia kehilangan momentum untuk melakukan perbuatan secara rasional, sistematis, dan berpikir secara tenang. Kedua, manusia acap kali berbuat melampaui batas. Dan ketiga, bila hasil perbuatan yang dilakukan manusia tidak sesuai harapannya, maka hal itu disikapi dengan kufur nikmat dan berkeluh kesah. Di sinilah kecerdasan fisik harus kita jaga dan shaum merupakan titik singgung sekaligus penyeimbang agar manusia tidak terjebak pada kekufuran.

Ada orang yang memaknai shaum dari segi fisik, seperti shaum sebagai sarana untuk mengurangi makan, shaum sebagai kendali pola hidup lebih teratur, serta shaum sebagai latihan agar pola hidup lebih ritmis. Selain itu, kegiatan ibadah di bulan Ramadhan sangat membantu latihan gerak tubuh seperti ketika pergi berjalan kaki untuk melaksanakan shalat wajib atau shalat taraweh berjamaah di masjid. Apakah ini salah? Tidak juga karena orang tersebut hanya mengartikan shaum sebagai sarana peningkatan kecersasan fisik.

Namun demikian, ayat ke-9 surat As-Sajdah tersebut di atas tidak berhenti pada kesempurnaan fisik atau kecerdasan fisik semata. Di sana juga di sebutkan selain dikaruniai wujud yang sempurna, dalam diri manusia juga dihembuskan ruh. Ruh di sini menandakan adanya sesuatu yang bersifat transendental atau ketuhanan.

Pada dasarnya, potensi ruh yang dimiliki setiap manusia adalah sama. Kalau boleh diibaratkan, ruh adalah ikan hias yang ditaruh di akuarium yang tidak lain adalah tubuh sempurna yang dimiliki manusia. Untuk bisa menampakkan keindahan ikan hias di dalamnya, maka akuarium tersebut harus dijaga agar senantiasa dalam keadaan bersih. Di sinilah fungsi ibadah yang tidak lain adalah sarana untuk membersihkan ‘akuarium’ manusia yang dari sononya sudah diciptakan secara sempurna. Kalau manusia hanya mengandalkan kesempurnaan fisiknya tanpa disertai pelaksanaan shalat, shaum, dan zakat; maka ‘akuarium’nya akan keruh sehingga keindahan qolbunya tidak dapat terlihat jelas. Jadi, meski shaum pada awalnya dipahami hanya dari segi fisik, hendaknya hal tersebut juga dapat diterjemahkan sebagai sarana untuk menjernihkan qolbu.

Pernahkah Anda bertanya mengapa shaum diberlakukan selama 30 hari? Ternyata, perilaku manusia (menurut teori behavior) baru akan terlihat perubahannya (dan besifat permanen) setelah sebuah kebiasaan diulang-ulang hingga melewati masa 21 hari. Namun demikian, rentang waktu tersebut masih tergolong riskan (untuk kembali ke kebiasaan semula), sehingga tepat adanya bila pembiasaan tersebut digenapkan menjadi 30 hari. Dan ini adalah ambang batas aman yang ditetapkan oleh Islam berkenaan dengan shaum untuk mengubah perilaku penganutnya. Tentu saja, daya ubah tersebut sangat tergantung pada ke-kaffah-an shaum yang dilakukan masing-masing orang.

Selain ruh, manusia juga dikaruniai panca indra dalam hal ini mata dan telinga. Allah kemudian memberikan penegasan bahwa dengan penglihatan dan pendengaran (yang dimiliki manusia tersebut) hendaknya melahirkan pengetahuan yang kemudian akan bermuara pada daya nalar yang dimiliki otak. Dari pengetahuan yang diolah dalam otak tersebut, hendaknya manusia memiliki pemahaman atau persepsi (driving period from knowledge to perception). Karena itulah, ayat ke-9 surat As-Sajdah tersebut di atas ditutup dengan resume yang sangat indah mengenai manusia yang juga dikarunia hati atau qolbu.

Dari situ kita dapat melihat bahwa kecerdasan spiritual tentu harus disertai dengan kebersihan qolbu. Ketika kita lakukan eksplorasi pada qolbu, kita akan menemukan bahwa qolbu adalah akumulasi dari kecerdasan fisik dan kecerdasan kognitif. Di sini, kecerdasan kognitif tersebut akan saya bagi menjadi tiga cabang, yaitu: intellectual quotient, social quotient (yang salah satu contohnya adalah kemampuan untuk berkomunikasi), serta emotional quotient (beberapa ahli menambahkan bahwa intuisi termasuk kecerdasan emosional).

Mekanisme ibadah seperti shalat, shaum, dan zakat yang dilakukan dengan benar pada dasarnya akan membuka sirkuit neuronal atau sirkuit-sirkuit syaraf yang dapat membangkitkan kecerdasan intuitif atau kecerdasan bawah sadar. Menurut sains, kecerdasan intuisi ini sebenarnya kecerdasan yang kita sadari, hanya saja kita tidak mempedulikannya. Contohnya adalah metoda aktivitasi otak tengah. Meski beberapa orang menganggap aktivasi otak tengah ini sebagai sesuatu yang musyrik, tapi jika dilakukan dengan benar, hal tersebut memang dapat dibangkitkan. Nah bagi kaum mukmin, cara untuk membangkitkan kecerdasan tersebut adalah dengan melakukan ibadah-ibadah wajib yang diperintahkan oleh Allah Swt. Pertanyaannya, mengapa orang yang sudah rajin melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut masih juga belum bisa mengaktifkan kecerdasan intuisinya? Di sini, berlakulah auto-correction. Bisa jadi, shalat atau shaum yang kita kerjakan belum sampai ke maqam itu. Bisa jadi, shaum kita masih ingin dilihat oleh orang lain dan bukan benar-benar ikhlas karena Allah.



Kecerdasan kognisi yang terdiri dari intellectual quotient, social quotient, dan emotional quotient tidak akan ada gunanya kalau tidak disertai physical quotient. Mengapa? Salah satu contohnya adalah intellectual quotient tidak akan bekerja (tidak akan bisa diajak berfikir) kalau fisik yang bersangkutan terserang penyakit atau kelelahan. Dari sini kita bisa mengetahui hubungan ketiga kecerdasan tersebut dalam kaitannya dengan ibadah. Kita diperintahkan untuk menyampaikan kebenaran walau hanya satu ayat, ya karena memang kita dibekali kemampuan untuk itu (bisa berkomunikasi).

Lantas, bagaimana hubungan shaum dengan kecerdasan otak? Salah satu ciri orang yang melaksanakan shaum dengan benar adalah memiliki pikiran atau kemampuan mengelola dirinya menjadi lebih jernih dan terarah. Shaum bagaikan kemudi sebuah kapal yang memiliki jangkar positif di sebelah kanan dan jangkar negatif di sebelah kiri.
Ibadah yang sifatnya regular dan frekuensinya dipertahankan akan menimbulkan keseimbangan baru dalam hormon yang pada gilirannya nanti akan melahirkan cinta.

Nah, kalau kita sudah dapat melakukan ibadah dengan niat lillahi taala, maka rasa cinta kepada Allah pun akan tumbuh. Saat shaum, terbentuklah perilaku baru dan anggapan bahwa ini merupakan proses yang menyenangkan. Tubuh pun kemudian akan mengeluarkan hormon oksitosin yang disebut juga sebagai hormon cinta yang paling tinggi. Kalau shaum dilaksanakan dengan benar, maka kita akan berada pada kondisi gembira, tiada beban, dan tenang karena tubuh dipenuhi zat kimia cinta.

Apakah berhenti sampai di situ saja? Tentu tidak. Ketika shaum sudah dapat melahirkan cinta, Allah melalui Rasulnya menguji kita dengan perintah sedekah. Di sini akan terlihat apakah cinta yang kita dapatkan selama menjalankan shaum dapat benar-benar teraplikasikan untuk menolong sesama atau tidak. Kalau kita masih pelit untuk bersedekah, maka hal tersebut menjadi kontradiksi dengan cinta yang didapatkan selama shaum karena ciri cinta yang hakiki adalah keinginan yang sangat kuat untuk berbagi.

Konsep kecerdasan yang lahir dari shaum yang benar adalah perubahan hormonal dan perilaku (lebih rasional). Ya, shaum mengajak kita untuk berpikir rasional. Ketika rasa lapar datang, otak kita akan diajak berpikir bahwa meski rasa lapar tubuh akan baik-baik saja. Toh rasa lapar tidak akan membunuh. Banyak orang miskin di luar sana yang tidak makan semala berhari-hari dan mereka masih bisa hidup, bukan? Dengan shaum kita melakukan revitalisasi otak. Otak menjadi lebih aktif berpikir.

Jadi, shaum dapat meningkatkan kecerdasan integratif (yang merupakan gabungan dari kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan emosional). Takwa adalah nama lain kecerdasan integratif karena ia tidak hanya berupa taklid tapi juga beriman secara sistematis mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Selain itu, orang yang bertakwa akan cukup cerdas dalam memaknai yang dijalaninya dalam kehidupan ini. [Muslik]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar